KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur selalu saya panjatkan atas kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesempatan dan kemampuan untuk terus belajar dan belajar lagi mendalami satu disiplin ilmu pada saat praktek mengajar di sekolah. Dalam kesempatan ini dapat menyelesaikan penyusunan tugas mata kuliah PKM (Pemantapan Kemampuan Mengajar).
Dalam proses penyusunan tugas ini saya banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka diucapkan terimakasih kepada semua pihak yang berperan dalam penyusunan tugas ini.
Kesempurnaan adalah hal yang saya dambakan dalam makalah ini. Apa daya, kesempurnaan bukan milik saya sebagai manusia. Banyak kekurangan yang harus saya perbaiki. Oleh karena itu, saya ucapkan permintaan maaf kepada pembaca karena masalah ini.
Saran dan kritik yang membangun selalu ditunggu untuk memacu saya lebih baik lagi. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih.
Bekasi, 29 September 2016
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................2
C. Tujuan ...............................................................................................................2
BAB II PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR ...........................3
A. Pengertian Pendidikan Karakter .......................................................................3
B. Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar .……………………………………….3
C. Pentingnya Pendidikan Karakter di Usia Sekolah Dasar ……………………..8
D. Prinsip Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar ………………………………11
E. Dampak Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar ……………………………..12
F. Peran Guru dalam Pengembangan Karakter di Sekolah Dasar ………………12
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………..14
A. Kesimpulan ….……………………………………………………………….14
B. Saran ….………………………………………………………………………14
DAFTAR PUSTAKA…..………………………………………………………..14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Banyak pakar, filsuf, dan orang-orang bijak yang mengatakan bahwa faktor moral (akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh orang tua kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan pondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera.
Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah berat yang harus dilalui, yaitu terjadinya krisis multidimensi yang berkepanjangan. Masalah ini sebetulnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa yang dicirikan oleh membudayanya praktek KKN, konflik, (antar etnis, agama, politisi, remaja, antar RW, dsb) meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan banyak lagi. Budaya-budaya tersebut adalah penyebab utama Negara kita sulit untuk bangkit dari krisis ini.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang strategis. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa.
B. Rumusan Masalah
Saya telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan. Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
1. Apa pengertian pendidikan karakter itu?
2. Bagaimana pendidikan karakter di sekolah dasar itu?
3. Apa pentingnya pendidikan karakter di sekolah dasar?
4. Apa prinsip pendidikan karakter di sekolah dasar?
5. Apa dampak pendidikan karakter di sekolah dasar?
6. Bagaimana peran guru dalam pendidikan karakter di sekolah dasar?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penyusunan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan pengertian pendidikan karakter.
2. Menjelaskan bagaimana pendidikan karakter disekolah dasar.
3. Menjelaskan tentang pentingnya pendidikan karakter.
4. Menjelaskan tentang prinsip pendidikan karakter di sekolah dasar.
5. Menjelaskan tentang dampak pendidikan karakter di sekolah dasar.
6. Menjelaskan peran guru dalam pendidikan karakter di sekolah dasar.
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR
A. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu:
1. Afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan,
akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta
kepribadian unggul,
dan
kompetensi estetis.
2. Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas
2. Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas
untuk menggali dan mengembangkan serta
menguasai ilmu pengetahuan
dan
teknologi.
3. Psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan
3. Psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan
keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi
kinestetis.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi mesin yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
B. Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar
Faktor kelurga sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini selanjutnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sejak usia dini sampai usia remaja. Bahkan menurut Daniel Goleman, banyaknya orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anak, kematangan, emosi sosial anak dapat dikoreksi dengan memberikan latihan pendidikan karakter kepada anak-anak di sekolah terutama sejak usia dini.
Sekolah adalah tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya.
Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yangberisikan tentang pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan, dan pancasila. Namun proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan penghafalan (kognitif). Para siswa diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan kemampuan anak menjawab soal ujian (terutama dengan pilihan berganda). Karena orientasinya hanyalah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak kepada perubahan perilaku, tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Semua orang pasti mengetahui bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Menurut Berman, iklim sekolah yang kondusif dan keterlibatan kepala sekolah dan para guru adalah faktor penentu dari ukuran keberhasilan interfensi pendidikan karakter di sekolah. Dukungan saran dan prasarana sekolah, hubungan antar murid, serta tingkat kesadaran kepala sekolah dan guru juga turut menyumbang bagi keberhasilan pendidikan karakter ini, disamping kemampuan diri sendiri (melalui motivasi, kreatifitas dan kepemimpinannya) yang mampu menyampaikan konsep karakter pada anak didiknya dengan baik.
C. Pentingnya Pendidikan Karakter di Usia Sekolah Dasar
Pendidikan karakter pada anak usia sekolah dasar, dewasa ini sangat diperlukan dikarenakan saat ini Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, bepikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan tersebut berupa Sejumlah nilai moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada orang lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi mesin yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa di Yogyakarta bulan Oktober 1949 pernah berkata bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya, dan persatuan”. Sedangkan menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan yang direncanakan atau diprogram.
B. Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar
Faktor kelurga sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini selanjutnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sejak usia dini sampai usia remaja. Bahkan menurut Daniel Goleman, banyaknya orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anak, kematangan, emosi sosial anak dapat dikoreksi dengan memberikan latihan pendidikan karakter kepada anak-anak di sekolah terutama sejak usia dini.
Sekolah adalah tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya.
Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yangberisikan tentang pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan, dan pancasila. Namun proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan penghafalan (kognitif). Para siswa diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan kemampuan anak menjawab soal ujian (terutama dengan pilihan berganda). Karena orientasinya hanyalah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak kepada perubahan perilaku, tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Semua orang pasti mengetahui bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Menurut Berman, iklim sekolah yang kondusif dan keterlibatan kepala sekolah dan para guru adalah faktor penentu dari ukuran keberhasilan interfensi pendidikan karakter di sekolah. Dukungan saran dan prasarana sekolah, hubungan antar murid, serta tingkat kesadaran kepala sekolah dan guru juga turut menyumbang bagi keberhasilan pendidikan karakter ini, disamping kemampuan diri sendiri (melalui motivasi, kreatifitas dan kepemimpinannya) yang mampu menyampaikan konsep karakter pada anak didiknya dengan baik.
C. Pentingnya Pendidikan Karakter di Usia Sekolah Dasar
Pendidikan karakter pada anak usia sekolah dasar, dewasa ini sangat diperlukan dikarenakan saat ini Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter dalam diri anak bangsa. Karakter di sini adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, bepikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan tersebut berupa Sejumlah nilai moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat pada orang lain, disiplin, mandiri, kerja keras, kreatif.
Berbagai permasalahan yang melanda bangsa belakangan
ini ditengarai karena jauhnya kita dari karakter. Jati diri bangsa seolah
tercabut dari akar yang sesungguhnya. Sehingga pendidikan karakter menjadi
topik yang hangat dibicarakan belakangan ini. Menurut Prof. Suyanto, Ph.D.
“karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khastiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara”. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan
yang ia buat. Pembentukan karakter merupakaqn salah satu tujuan pendidikan
nasional. Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa diantara tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi pererta didik untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian dan akhlak yang mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003
itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insane Indonesia yang
cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter. Sehingga nantinya akan
lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendididkan karakter di nilai sangat penting untuk
dimulai pada anak usia dini karena pendidikan karakter adalah proses pendidikan
yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan
akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya
dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh,
amanah, antisifatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar,
berani memikul resiko, berdisilin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan
bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian,berpikiran jauh ke
depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung
jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis,
efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif,
cosmopolitan (mendunia), kretif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas
diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan,
menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah,
pengabdian, berpengendalian diri, produkif, rajin, ramah, rasa indah, rasa
kasih sayang, rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri,
rela bedrkorban, rendah hati, sabar semangat, kebersamaan, setia, siap mental,
sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif,
susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat
janji, terbuka, ulet dan sejenisnya.
Sejatinya pendidikan karakter ini memang sangat
penting dimulai sejak dini. Sebab falsafah menanam sekarang menuai
hari esok adala sebuah proses yang harus kita lakukan dalam rangka membentuk
karakter anak bangsa. Pada usia kanak-kanak atau biasa disebut para ahli
psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan
anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar
lima puluh persen vaiabelitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak
berusia empat tahun. Peningkatan tiga puluh persen berikutnya terjadi pada usia
delapan tahun (SD). Dan dua puluh
persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua (SMP).
D. Prisip Pendidikan Karakter di
Sekolah Dasar
Langkah
terakhir adalah dengan memeperhatikan prinsip-prinsip penerapan pendidikan
karakter. Character Education Quality Standards merekomendasikan sebelas
prinsip untuk mewujudkan pendidikan
karakter yang efektif, sebagai berikut:
1.
Mempromosikan
nilai-nilai dasar eika sebagai basis karakter.
2.
Mengidentifikasikan
karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku.
3.
Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.
4.
Menciptakan
komunitas sekolah ytang memiliki kepedulian.
5.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk menunjukan perilaku yang baik.
6.
Memiliki
cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua
siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses.
7.
Mengusahakan
tumbuhnya motivasi dari para siswa.
8.
Memfungsikan
seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk
pendidikan karakter yang setia kepada nilai dasar yang sama.
9.
Adanya
bagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif
pendidikan karakter.
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
dalam usaha membangun karakter.
11. Mengevaluasi karaktersekolah, fungsi staf sekolah
sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan
siswa.
E.
Dampak Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar
Beberapa penelitian
bermunculan dari berbagai penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh
sebuah buletin Charcter Educator yang diterbitkan oleh Charcter Education
Patnership.
Dalam buletin
tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri-St. Louis, menunjukan peningkatan
motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang
menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara kompprehensif terlibat
dalam pendidikan karakter menunjukan adanya penurunan drastis pada perilaku
negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang
berjudul Emotional Itellegence and School Succes (Joseph Zins, et.al, 2001)
mengkomplikasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif tentang
kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada
sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Fakor-faktor
resiko yang sebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul,
kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Seiring sosialisai
tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap
sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang
selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
F.
Peran Guru dalam Pengembangan Karakter di Sekolah
Dasar
Kurikulum Berbasis
Kometensi (KBK), yang kemudian diimplementasikan menjadi Kurikulum Tingakt
Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan kurikulum yang dirancang untuk memberikan
peluang seluas-luasnya bagi sekolah dan tenaga pendidik untuk melakukan
praktik-praktik pendidikan dalam rangka mengembangkan semua potensi yang
dimiliki peserta didik, baik melalui proses pembelajaran dikelas maupun melalui
program pengembangan diri (Ekstrakulikuler). Pengembangan potensi peserta didik
tersebut dimaksudkan untuk memantapkan kesadaran diri tentang kemampuan atau
life skill terutama kemampuan peronal (personal skill) yang dimilikinya. Termasuk
dalam hal ini adalah pengembangan potensi peserta didik yang berhubungan dengan
karakter dirinya.
Ada beberapa strategi
yang dapat memberika peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan
peranannya secara optimal dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta
didik di sekolah, sebagai berikut :
1. Optimalisasi
peranguru dalam proses pembelajaran.
2. Integrasi materi
pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran.
3. Mengoptimalkan
kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan
pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia.
4. Penciptaan
lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuh
dan berkembangnya karakter peserta didik.
5. Menjalin kerjasama
dengan orang tua peserta didik dan masyarakat
dalam pengembangan pendidikan karakter.
6. Menjadi figur
teladan bagi peserta didik
.
Mengenai
hal diatas peranan guru peranan guru dalam pengembangan pendidikan karakter di
sekolah yang berkedudukan sebagai katalisator atau teladan, inspirator,
motivator, dinamisator, dan evaluator. Dalam peran katalisator, maka
keteladanan seorang guru merupakan faktor mutlak dalam pengembangan pendidikan
karakter peserta didik yang efektif, karena kedudukannya sebagai inspirator
berarti sebagai guru harus mampu membangkitkan semangat peserta didik untuk
maju mengembangkan potensinya. Peran sebagai motivator, mengandung makna bahwa
setiap guru harus mampu membangkitkan semangat, etos kerja, dan potensi yang
luar biasa pada diri peserta didik. Peran sebagai dinamisator, bermakna setiap
guru memiliki kemampuan untuk mendorong peserta didik ke arah pencapaian tujuan
dengan penuh kearifan, kesabaran, cekatan, cerdas dan menjunjung tinggi
spiritualitas. Sedangkan peranan guru sebangai evaluator, berarti setiap guru
dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau perilaku diri, dan
metode pembelajaran yang dipakai dalam pengembangan pendidikan karakter peserta
didik, sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas, efisiensi, dan
produktivitas programnya.
Dengan demikian
berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks sistem
pendidikan di sekolah untuk mengembangkan pendidikan karakter peserta didik,
guru harus diposisikan atau memposisikan diri pada hakekat yang sebenarnya,
yaitu sebagai pengajar dan pendidik, yang berarti disamping mentransfer ilmu
pengetahuan, juga mendidik dan mengembangkan kepribadian peserta didik melelui
interaksi yang dilakukannya di kelas dan diluar kelas. Guru hendaknya diberikan
hak penuh (hak mutlak) dalam melakukan penelitian (evaluasi) proses
pembelajaran, karena dalam masalah kepribadian atau karakter peserta didik,
guru merupakan pihak yang paling mengetahui tentang kondisi dan
perkembangannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan diartikan
sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang maha Esa, diri
sendiri, sesama lingkungan, maupun kebangsaan sehingga manusia menjadi insan
kamil.
Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum , proses
pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
dan prasaran, pembiayaan dan etos kerja seluruh wawrga dan lingkungan sekolah.
B.
Saran
Diharapkan dengan
diterapkannya pendidikan karakter di SD dapat membentuk pribadi siswa yang
unggul dalam berprilaku dan memiliki kepribadian yang sesuai dengan moral-moral
pancasila dan agama. Untuk itu penerapan pendidikan karakter di SD sangat
diperlukan, sehingga kita dapat menjadi orang yang bermoral dan berpancasila.
DAFTAR
PUSTAKA
Megawangi, Ratna.
2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Fondation.
http://doddywir.blogspot.com/pentingnya-pendidikan-karakter.html(diakses tanggal 27 desember 2012).
http://edukasi.
Kompasiana.com/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikdn-karakter-di-sekolah-dasar
(diakses tanggal 27 Desember 2012).
Comments